Sekapur Sirih

Featured

Sudah lama saya punya keinginan untuk mendokumentasikan foto-2 yang saya buat beberapa tahun belakangan sejak saya mulai aktif menjalani hobby fotografi, namun sayang kesempatan untuk mewujudkan keinginan itu sangat langka. Langka dalam arti waktu untuk mendokumentasikannya terpakai untuk menjalani aktifitas atau kegiatan lain. Selain itu saya kesulitan untuk memilih medianya, apakah cukup disimpan pada galery salah satu situs fotografi saja, atau cukup disimpan dalam bentuk album pada salah satu situs jejaring sosial, atau saya dokumentasikan dalam bentuk blog sehingga memberikan saya keleluasaan untuk menulis hal-2 berkaitan dengan foto tersebut.

Setelah lama menimbang akhirnya saya putuskan untuk memilih mendokumentasikan foto-2 saya tersebut dalam bentuk blog dengan alasan agar bisa dengan mudah untuk saya atau teman saya nikmati tanpa harus login atau menjadi member atau menjadi friend saya dulu untuk melihat kumpulan foto saya nantinya. Proses selanjutnya adalah pemilihan penyedia media blog nya. Setelah melihat-2 berbagai situs akhirnya saya memilih untuk membuat blog foto saya di WordPress ini, utamanya karena satu alasan, yaitu karena ada tampilan skin yang saya suka, yaitu skin dengan warna hitam putih. Tampilan skin yang hitam putih sengaja saya pilih karena kecintaan saya terhadap foto hitam putih dan niat saya untuk belajar membuat foto hitam putih sesuai tone yang saya suka.

Selesai dengan urusan pemilihan media itu selanjutnya saya dibuat bingung dengan urusan pemilihan nama untuk blog saya ini. Pertama yang terlintas memang memakai nama saya sendiri, misalnya Beng’s Blog atau Irwanto’s Blog. Tapi lama kelamaan saya rasa kok begitu narsisnya sampai-2 nama blog harus memakai nama saya juga. Akhirnya saya putuskan untuk tidak memakai nama saya sebagai nama blog. Naah dari sinilah kesulitan mencari nama itu dimulai.

Saya tidak ingat sudah berapa lama saya mencari ide untuk nama blog saya ini namun tidak ada nama yang mengena di hati saya sehingga blog saya ini masih tampil sebagaimana blog kosong saja, tanpa sentuhan sama sekali. Sampai pada suatu saat ada sebuah lagu berbahasa Jawa yang sudah lama tidak saya dengar tiba-2 diputar di sebuah stasiun radio. Lagu tersebut diciptakan dan dinyanyikan oleh Sujiwo Tejo, seorang dalang, penulis dan seorang budayawan yang cukup kritis yang tulisannya pernah dimuat beberapakali di harian Kompas. Lagu yang beliau nyanyikan tersebut berjudul Pada Suatu Ketika. Saya ingat lagu ini karena menurut saya pada saat lagu ini dipopulerkan, genre lagu-2 kita tidak seperti lagu yang beliau ciptakan. Sedikit aneh untuk era itu tapi saya suka lagunya. Dari sinilah inspirasi nama blog ini saya peroleh.

Nama blog Pada Suatu Ketika (dengan tag line Sebuah Catatan Kaki) saya pilih karena tulisan dan foto yang mungkin akan mengisi blog ini nantinya merupakan catatan kecil dari kegiatan saya dalam menekuni hobby fotografi pada waktu tertentu. Kegiatan menekuni hobby fotografi ini bukan merupakan kegiatan yang secara rutin saya lakukan, misalnya 2 minggu sekali, tetapi merupakan kegiatan yang saya lakukan hanya pada saat tertentu saja.  Sementara cerita yang menyertainya merupakan sepenggal kisah dari rangkaian kisah yang ada sepanjang hayat saya. Sepenggal kisah ini tak ubahnya seperti catatan kaki pada salah satu halaman dari sebuah buku.  Sepenggal kisah ini pula yang nantinya akan berfungsi sebagai catatan kecil, sebagai pengingat saya mengenai perkembangan kemampuan saya dalam menekuni hobby saya ini serta mengenai kisah sekitar pembuatan foto yang saya muat di blog ini.

Maunya blog ini akan saya isi dengan kumpulan foto hitam putih saja. Namun, kembali ke niat awalnya bahwa blog ini dibuat sebagai wadah untuk mendokumentasikan foto-2 yang saya buat maka tidak tertutup kemungkinan apabila nantinya akan saya muat juga foto-2 berwarna, mungkin akan saya gunakan sebagai pembanding atau setidaknya sebagai pembelajaran untuk saya sendiri.

Saya percaya kumpulan foto yang akan tersaji nanti masih jauh dari sempurna. Tapi biarlah itu menjadi catatan tersendiri buat saya, menjadi bahan pembelajaran buat saya agar saya senantiasa berusaha untuk mempelajari tehnik fotografi lagi dengan baik, mempelajari tehnik pengolahan foto secara digital atau membuka buku manual kamera saya lagi agar saya lebih menguasai pengoperasian kamera yang saya punya.

Akhirnya, saya ucapkan selamat datang dan selamat menikmati sajian sederhana dari saya…

Hong Kong 616

Sudah hampir 1 bulan ternyata saya belum juga mampu menulis apapun berkaitan dengan demonstrasi masyarakat Hong Kong pada tanggal 16 Juni 2019 yang lalu. Namun kesan yg saya dapat saat berada di tengah para demonstran tersebut masih bisa saya rasakan hingga saat ini.

Terlepas dari persoalan politik yg menjadi pemicunya, menurut saya demonstrasi yg kabarnya melibatkan lebih kurang  2 juta warga Hong Kong pada hari itu menyajikan pemandangan yg bagus. Dari sisi demonstran, acara protes berjalan dengan tertib & damai. Para demonstran tetap mempertimbangkan kepentingan publik sehingga saat saya yg terjebak di tengah arus demontran masih tetap diberi jalan. Mereka berusaha bergeser 1-2 langkah ke kiri atau kanan sehingga ada ruang untuk saya menerobos ke arah yg saya tuju.

Saat ada yg membutuhkan pertolongan darurat, arus demonstran yg sebelumnya menutupi jalan sampai ke pedestrian tiba-2 terbelah sehingga ada ruas jalan yg kosong kira-2 selebar 1-2 meter, cukup untuk petugas pertolongan darurat berlalu dengan leluasa.

DSCF1940-small

Sementara dari sisi lainnya Polisi yg bertugas atau berjaga di jalan juga tetap memberikan pelayanan dengan baik. Memberikan informasi jalan mana yg bisa ditempuh atau mengatur kendaraan yg lewat serta orang yg menyeberang.

Saat terjebak di tengah para demonstran itulah saya melihat bahwa sebenarnya banyak hal-2 menarik yg bisa dijadikan sebagai subjek/objek foto. Berbekal kamera Fuji X-Pro 1 dan lensa Fujinon 35mm/f1.4, sayapun berusaha merekam apa yg menarik perhatian saya saat itu meskipun kondisinya begitu sulit karena saya sudah berdiri rapat berdesakan dengan para demonstran.

Berikut ini saya sajikan beberapa foto dari sejumlah foto yg bisa saya abadikan saat itu. Silahkan klik untuk melihatnya dengan ukuran yg lebih besar.

Selamat menikmati sajian sederhana ini….

Antara Sogo & Soho

Sekitar awal bulan April 2018 lalu saya mendapat info bahwa seorang teman lama saya akan berlibur ke Hong Kong & minta untuk ditemani street hunting. Saat itu saya aminkan saja permohonan itu sambil berharap semoga tidak ada hal mendadak yg membuat saya terpaksa membatalkannya. Sekitar seminggu kemudian beliau menghubungi saya melalui Whatsapp & menceritakan rencana kunjungannya yg berlangsung sekitar tanggal 18-22 April.

Tanggal 19 April beliau menghubungi saya untuk minta dibuatkan list tempat mana saja yg kira-2 menarik untuk dikunjungi. Hari itu saya tidak bisa menemani beliau hunting sehingga saya buatkan list tempat-2 hunting untuk beliau. Tapi sore hari selepas kerja saya sempatkan diri untuk bertemu.

Beliau, Hariko Wahid namanya, adalah teman lama saya sewaktu kami masih sama-2 bekerja di Garuda Indonesia. Saya bekerja di kantor pusat, unit Revenue Management sementara beliau di Branch Office Jakarta, di jajaran Sales Representative. Urusan pekerjaanlah yg mempertemukan kami berdua & salah satu mentor saya, almarhumah Kartika Umiarni lah yg membuat saya mengenal beliau lebih dekat dari sebelumnya.

Hari itu saya agak ragu apakah setelah sekian lama kami tidak menjalin kontak kami masih bisa nyambung ngobrol atau tidak. Tapi karena kesamaan minat kami berdua pada fotografi maka Alhamdulillah hari itu obrolan kami bisa mengalir begitu saja… mulai dari soal motret sampai kilas balik saat kami sama-2 di Garuda Indonesia. Dedi Styadi, teman sejawat yg kini menjadi General Manager Branch Office Hong Kong, yg memberikan info awal mengenai rencana kedatangan Hariko, juga ikut hadir saat itu. Esok harinya saya masih sempat bertemu mereka berdua lagi & mengantar berkunjung ke toko kamera Mr. Chan di Champagne Court, Kimberley Road.

Hari Sabtu menjadi saat bagi kami untuk hunting menjelajahi beberapa tempat di Hong Kong. Causeway Bay sekitar Sogo menjadi tempat meeting point kami. Setelah sarapan & ngobrol di salah satu fastfood lokal kami pun memulai perjalanan kami.

Central adalah tempat pertama yang kami tuju. Tram menjadi kendaraan yg kami pilih untuk membawa kami menuju lokasi. Tempat pertama yg menjadi sasaran kami adalah daerah sekitar HSBC Building & Bank Of China Tower. Namun, saat itu matahari malu-2 bersinar sehingga pantulan cahaya yg kami harapkan tidak muncul sehingga kami putuskan untuk bergerak melanjutkan perjalanan dengan tram menuju Pottinger Street. Dari sana kami memilih jalan menuju ke Shelley Street & hunting dimulai segera setelah kami menyeberangi Queen’s Road Central, melintasi daerah Soho sampai akhirnya kami tiba di Masjid Jamia, di Shelley Street.

Saya ditemani Pentax Spotmatic berbekal Kodak Color Plus ASA 400 & Ilford HP5 Plus ASA 400. Sementara teman saya Hariko ditemani Leica TL2 serta M6 dan M9 yg dibekali sederet amunisi berupa film Ilford, Fuji Industrial, Lomo serta Cinestill.

Ada perasaan yg cukup mengganjal selama hunting hari itu, khususnya menjelang sesi hunting itu berakhir. Saya merasa bahwa aplikasi di handphone yg saya pakai untuk light meter hari itu kurang akurat & tidak bekerja seperti biasanya. Meski ada perasaan seperti itu saya ikuti saja settingan yg disarankan oleh applikasi tersebut mengingat matahari lebih sering tertutup awan ketimbang memberikan sinarnya untuk kami berdua. Saya pun tidak benar-2 paham perkiraan metering yg harus saya pakai kalo hanya mengandalkan mata saya dengan melihat bayangan yg ada saja. Karena itulah saya ikuti diafragma setting sebagaimana yg ditunjukkan di aplikasi tersebut.

Disamping persoalan metering kamera, penyakit lama saya muncul lagi yaitu refleks menekan tombol shutter terlalu cepat padahal fokus belum saya atur. Zone focusing yg rencananya saya mau coba saat itupun benar-2 gagal total. Hanya beberapa frame warna & hitam putih saja yg saya ingat saya buat dengan cara zone focusing tersebut.

Akibatnya tentu saja harus saya bayar mahal sehingga foto banyak yg exposure atau fokusnya masih kurang. Ujung-2 nya saya minta pertolongan software Photoscape untuk memperbaiki sebagian besar foto-2 itu.

Yup… memotret dengan film memang butuh kesabaran & ketelitian ekstra. Sering-2 motret menjadi kunci untuk membiasakan diri ini kembali ke kamera film. Pertanyaan yg akhirnya saya tanyakan ke diri saya setelah melihat hasil foto itu adalah…

“Kapok nggak motret pake kamera film yg maha ribet itu…?!”

Jawabnya adalah belum & nggak kapok…! Malah saya masih akan terus mencari waktu untuk mencoba teknik zone focusing lagi… dan lagi…dan lagi… sampai saya benar-2 puas akan hasil foto saya nanti. Nikon FM2 & Canon 7 yg sedang berobat pun akan siap menemani jika tiba saatnya nanti saya hunting pakai kamera film lagi.

Akhirnya, buat teman saya Hariko Wahid, terima kasih sudah mengajari & menunjukkan saya kesabaran memotret dengan kamera film.

Berikut ini adalah foto-2 yg saya hasilkan hari itu. Selamat menikmati…

 

Satu Untuk Semua

ingin sungguh aku bicara satu kali saja
sebagai ungkapan kata perasaanku padamu
telah cukup lama ku diam di dalam keheningan ini
kebekuan di bibirku, tak berdayanya tubuhku

IRT_4994_edit_resize

Penggalan lagu Ternyata Cinta yang dibawakan oleh Anji tersebut masih saya nyanyikan dalam hati hingga dibuatnya tulisan ini… lebih dari 24 jam setelah pertunjukan musik Satu Untuk Semua yang diselenggarakan oleh Telin Hong Kong pada tanggal 11 Maret 2018 yang lalu. Saya nggak begitu jelas juga kenapa masih tetap mendengarkan lagu Anji tersebut… entah karena kekecewaan karena lagu tersebut tidak dinyanyikan kemarin atau karena memang masih terpesona oleh suara beliau yang memang bagus saat menyanyikan lagu tersebut sesuai dengan interpretasinya. Entah lah…!

Kalo boleh jujur saya mulai memperhatikan beliau justru saat beliau telah keluar dari group band yang bernama Drive, khususnya saat saya pertamakali mendengar beliau membawakan lagu Ternyata Cinta yang sepenggal liriknya mengawali tulisan ini. Setau saya lagu itu dibawakan oleh Fadli dari group band Padi. Namun, Anji menurut saya berhasil menyanyikan lagu tersebut dengan baik & aransemen musiknya juga memberikan warna yang berbeda dari versi Fadli. Saya nggak tau siapa yang pertamakali mempopulerkannya… Fadli Padi atau Anji Drive… tapi terlepas dari itu keduanya memberikan sentuhan yang sama bagusnya pada lagu tersebut.

IRT_4741_edit_resize

Pada pertunjukan hari Minggu, tangal 11Maret 2018 lalu, Anji tampil mengisi panggung bergantian dengan komedian Dodit Mulyanto, Raditya Dika serta Fildan (jebolan Dangdut Academy 4). Saya bersama teman-teman dari Komunitas Photographer As 2 in 1 Hong Kong diberikan kesempatan untuk hunting pada pertunjukan yang berlangsung 2 sesi tersebut. Kesulitan terbesar hunting pada pertunjukan seperti ini bagi saya adalah harus membagi diri antara motret atau mendengarkan sajian live music tersebut karena keduanya merupakan hal yang saya suka. Tapi suka tidak suka saya tetap harus motret  juga & harus melepaskan diri dulu dari apa yang terjadi di panggung untuk  fokus memperhatikan lingkungan, khususnya memperhatikan cahaya yang menerangi panggung sambil mengatur kamera saya untuk mencoba berbagai kemungkinan pengambilan gambar. Karena sudah jarang motret maka kegiatan ini memakan waktu cukup lama & hampir membuat frustasi karena hasilnya sungguh tidak memuaskan.

Sulit rasanya motret dengan kondisi cahaya yang kerap berubah seperti di acara musik seperti ini. Namun berdasarkan hasil observasi sebelumnya setidaknya saya harus bersyukur juga karena cahaya utama yang datang dari atas kanan & kiri di seberang panggung sangat membantu saya. Tidak ada cahaya berwarna biru, merah atau kuning yang berasal dari atas panggung sebagaimana yang saya alami saat motret di Java Jazz tahun 2011 lalu. Jika hal itu terjadi lagi kemarin maka bisa jadi saya tidak punya dokumentasi yang layak & semua berakhir dengan teknik SRD lagi… shoot-review-delete.

IRT_4498_edit_resize

Meski sempat tersendat cukup lama dengan pengaturan kamera saya namun akhirnya bisa dibilang hunting kemarin jauh lebih baik bila dibandingkan dengan hunting saat Java Jazz lalu. Yaaa… belajar dari pengalaman di Java Jazz itulah saya nggak berani keras kepala dengan pengaturan kamera saya tersebut & terus mencoba berbagai kemungkinan yang bisa saya lakukan.

IRT_4503_edit_resize

Saya tidak bisa menceritakan gambaran besar acaranya karena memang sebagian besar lolos dari perhatian saya karena saya fokus motret serta berusaha memahami pengaturan kamera saya. Namun khusus pada bagian Anji & Fildan sebagain besar masalah pengaturan kamera telah selesai sehingga saya bisa fokus ke panggung memperhatikan detail acara.

IRT_4851_edit_resize

Fildan sang jebolan Dangdut Academy 4 menggebrak panggung dengan sukses. Kemampuannya memainkan gitar elektrik sambil berdangdut ria menjadi nilai tambah tersendiri untuknya. Kemampuannya berdialog dengan penonton menurut saya masih kurang karena dialog kurang mengalir. Tetapi berkat permainan gitar serta suaranya yang mumpuni maka beliau bisa tampil dengan sukses & berhasil mengguncang Queen Elizabeth Stadium, khususnya pada pertunjukan sesi kedua.

IRT_4998_edit_resize

Anji, pada gilirannya tampil tentu saja tidak kalah serunya dibandingkan dengan Fildan. Jam terbang yang telah dilaluinya menjadi bekal tersendiri untuk beliau sehingga segalanya berjalan dengan baik. Dialog dengan penonton mengalir begitu saja & sungguh enak untuk dinikmati. Suara beliau juga terdengar begitu jernih. Masuknya Anji ke panggung membawa atmosfir romantis ke dalam Queen Elizabeth Stadium setelah sebelumnya digebrak oleh lagu dangdut plus raungan gitarnya Fildan serta seruan para penonton.

Yaaah… memang sayang Anji tidak menyanyikan lagu Ternyata Cinta yang saya tunggu itu… tetapi… 2 buah lagu favorit lainnya menjadi lagu yang paling ditunggu oleh para penonton. Lagu tersebut adalah Dia serta Bidadari Tak Bersayap. Lagu tersebut sepertinya menjadi kado yang manis bagi kami yang hadir di Queen Elizabeth Stadium kemarin. Sungguh pertunjukan musik yang luar biasa…!

IRT_4592_edit_resize

Pertunjukan musik kemarin itu menurut saya seperti menggabungkan timur dengan barat. Menggabungkan dangdut & pop ditambah komedian sekaligus blogger/vlogger. Terlepas dari bagaimana repotnya panitia mengatur model pertunjukan seperti itu, menurut saya acara kemarin berjalan dengan sukses. Sajian musik yang luar biasa seperti itu sangat sayang apabila dilewatkan begitu saja. Ditambah dengan kesempatan untuk hunting motret di dalamnya… aaah… seperti mendapatkan durian runtuh berkali-kali.

IRT_4453_edit_resize

Semoga Telin Hong Kong tetap menghadirkan pertunjukan berkwalitas dengan artis-artis seperti mereka berdua di masa mendatang serta memberikan kesempatan pada komunitas fotografi binaannya ini untuk ambil bagian pada acara-acara tersebut.

Berikut ini adalah beberapa foto yang berhasil saya rekam. Selamat menikmati…

 

 

 

Kencan Kedua Bersama Canon 7 Rangefinder

Tags

Kencan pertama yang saya lakukan bersama kamera Canon 7 Rangefinder beberapa bulan lalu begitu berkesan. Selain harus menyesuaikan diri dengan segalanya yang serba manual sayapun harus membiasakan diri untuk mengamati jendela bidik (view finder) dengan lebih teliti. Mengapa begitu…? Karena pada kamera rangefinder sudut pandang kita akan sedikit berbeda jika dibandingkan dengan view finder pada  kamera SLR.

Pada kamera Canon 7 yang saya gunakan, setelah memasang lensa maka saya harus menyesuaikan sudut pandang pada view finder agar sesuai dengan lensa yang digunakan. Misalnya saya menggunakan lensa 50mm/f1.8 maka skala pada view finder saya atur pada angka 50 agar daerah cakupan yang muncul di view finder saat saya membidik nanti akan sesuai dengan lensa yang saya pakai.

48750038-crop-rollei-rpx400-small

Beberapa kesalahan yang saya lakukan saat kencan pertama lalu ternyata masih terulang lagi di kencan kedua ini. Belum mengatur focus, diafragma atau shutter speed sepertinya masih menjadi hantu belang yang akan selalu hadir pada setiap sesi pemotretan. Belajar dari kondisi ini saya kembali mengingatkan diri saya untuk mundur selangkah serta mengatur emosi untuk kembali menyesuaikan diri serta tidak terburu-buru mengabadikan subjek/objek foto saya.

48750036-rollei-rpx400-small
Namun, terlepas dari kesalahan yang terjadi akibat keteledoran saya tersebut ternyata kamera ini sungguh nyaman untuk dipakai street hunting. Bentuknya yang tidak se-seram kamera SLR atau DSLR serta penampilan yang terlihat tua membuat orang tidak terlalu alergi saat kita foto.

48750030-rollei-rpx400-small
Suara saat shutter menutup setelah merekam gambar terdengar begitu lembut. Sreg…! Begitulah kira-kira suara yang terdengar. Senyap rasanya dan jauh berbeda bila dibandingkan dengan kamera DSLR saya yang terdengar seperti suara mesin jahit dan  akan terdengar seperti suara mesin obras bila dipakai untuk continuous shooting.

Sesekali penggulung film terasa stuck atau macet namun hal itu bisa diatasi dengan cara menggeser tombol untuk mengunci shutter ke posisi netral, posisi mengunci atau kembali ke posisi ready. Setelah itu saya coba menggulung film lagi untuk memotret objek berikutnya. Dan… berhasil…!

48750034-rollei-rpx400-small

Selenium cell yang berfungsi sebagai sensor cahaya yang digunakan untuk metering kamera ini bisa saya katakan masih berfungsi cukup normal. Saya bisa menyimpulkan seperti ini karena setelah saya bandingkan  metering yang ditunjukkan oleh kamera masih sesuai dengan yang ditunjukkan oleh lightmeter dari aplikasi di smartphone saya.

48750032-rollei-rpx400-small

Saya cukup puas menggunakan kamera ini karena penampilannya sebagai kamera film yang cukup tua  ternyata bisa membuat orang-orang sepertinya tidak terganggu saat saya berada di sekitar mereka. Kamera Canon 7 rangefinder yang saya gunakan ini juga masih berfungsi dengan baik & bunyinya yang cukup lembut membuat saya makin terpesona padanya. Lensa 50mm/f1.8 sudah cukup mumpuni untuk diajak jalan-jalan melakukan street hunting. Mungkin nanti di lain kesempatan saya harus mulai mencoba lagi melakukan street hunting sambil mencoba menerapkan teknik zone focusing dengan kemara Canon 7 yang ditemani lensa 50mm/f1.8 ini.

Ooh iya… hunting foto yang saya lakukan pada kencan kedua ini berlangsung beberapa hari & satu hari di antaranya adalah ketika typhoon Hato akan memasuki wilayah Hong Kong. Mudah sekali membawanya meski hujan turun cukup deras. Cukup bungkus dengan plastik kresek saja dan diapun siap diajak bertualang.

Masih tetap sama dengan konfigurasi pada kencan sebelumnya, Canon 7 rangefinder saya ini ditemani lensa 50mm/f1.8 namun kali ini saya menggunakan film Rolei RPX400 sebagai media perekam gambarnya.

Berikut ini saya sajikan beberapa foto yang sempat saya rekam pada kencan kedua ini. Silahkan klik fotonya jika ingin melihatnya dalam ukuran yang relatif besar.

Selamat menikmati…

 

Mundur Selangkah Bersama Kamera Film

Fotografi adalah hobby yg dulu terasa begitu mahal bagi saya sehingga kesempatan memotret (saat itu hanya ada kamera film saja) benar-benar saya manfaatkan sebaik-baiknya. Baru di era digital ini saya bisa memuaskan hasrat memotret saya karena biaya yang dikeluarkan untuk keperluan motret sudah tidak semahal dibanding dulu karena tidak adanya keperluan untuk mencuci film serta mencetaknya.

Namun kemudahan di era digital ini membuat hal yang paling penting yang saya rasakan dari kenikmatan memotret itu kini telah hilang. Kenikmatan saat memotret dengan kamera film adalah ketika mendengar suara cekrek, sreg atau klak saat shutter membuka dan menutup untuk merekam gambar. Kenikmatan ini hanya bisa saya rasakan saat menggunakan kamera manual/film saja. Kemudahan menggunakan kamera digital membuat saya malas & menjadi tidak disiplin untuk memperhatikan hal-hal detail sebelum mengabadikan subjek/objek foto.

Kenikmatan mendengar suara cekrek, sreg atau klak ini diperoleh sebagai muara dari proses panjang mulai dari melihat objek yang mau saya abadikan, memikirkan komposisinya, melihat metering apakah over, normal atau under sambil menyesuaikan diafragma & speed setting. Ketika jari siap menekan tombol rasa deg-deg-gan bin galau melanda karena hati bertanya akan bagaimana nanti jadinya foto ini setelah film dicuci & dicetak. Sebuah perasaan yang sukar dituliskan dengan kata-kata tapi nyata saya rasakan bagaimana nikmatnya memotret menggunakan kamera film.

Saya pun berpuasa motret begitu lama sehingga blog ini terlantar, Di waktu senggang saya coba membersihkan kamera jadul, Canon 7 rangefinder, sambil berharap moga-moga semua berfungsi dengan normal. Sampai akhirya semua proses pembersihan selesai saya pun mulai kembali menggunakan kamera film untuk memuaskan hasrat memotret saya.

canon-7

Setelah bermanja sekian lama dengan kamera digital rasanya tidak mudah buat saya untuk menyesuaikan diri dengan kamera film lagi, khususnya rangefinder ini. Proses cek metering harus saya lakukan dengan menggunakan aplikasi yang ada di smartphone untuk membandingkan apakah selenium cell untuk metering di kamera masih berfungsi normal atau tidak. Diafragma & speed setting pun harus dilakukan secara manual. Karena kebiasaan bermanja itulah seringkali saya terlalu cepat menekan tombol shutter ,lupa merubah fokus serta sederet kesalahan teknis lainnya.  Akibatnya cukup fatal, beberapa frame pun terbuang dengan percuma atau tidak layak tampil.

48760018-kodak-tmx100-small

Setelah beberapa kali melakukan kesalahan tersebut akhirnya saya bisa sedikit menyesuaikan diri lagi. Belajar untuk mundur selangkah, berhenti sejenak agar tidak terburu-buru, menikmati proses mulai dari membidik untuk mengatur komposisi sampai bunyi cekrek, sreg atau klak terdengar.

Yaaa… kamera film ini membuat saya kembali lagi bisa menikmati sensasi yang dulu saya rasakan saat memotret. Canon 7 rangefinder yang saya pakai ini dilengkapi film hitam putih Kodak TMX ASA 100 sebagai media perekam gambarnya.

Berikut ini adalah beberapa foto yang berhasil terekam dengan sukses. Silahkan klik fotonya untuk melihatnya dalam ukuran yang relatif besar.

Selamat menikmati…

 

Demonstrasi di Hong Kong (29 September 2014)

“Sekitar 80 ribu pengunjuk rasa pro-demokrasi memenuhi jalan-jalan di Kota Hong Kong sebagai bentuk protes terhadap pemerintah Cina. Mereka menuntut agar pemerintah Cina memberikan demokrasi secara penuh di Hong Kong untuk memilih pemimpin Hong Kong secara langsung, bukannya ditunjuk dari pemerintah Beijing”

Paragraf di atas adalah cuplikan berita yg ditulis di Tempo online kemarin, 29 September 2014 mengenai demonstrasi yg sedang berlangsung di Hong Kong. Demonstrasi yg diusung oleh siswa SMA dan elemen mahasiswa serta masyarakat ini tentunya menjadi perhatian utama masyarakat & media di Hong Kong. Media di tanah air juga tidak ketinggalan menulis berita ini. Selain Tempo, Kompas & Detik pun ikut mengangkat berita ini.

Melihat demonstrasi ini saya jadi ingat suasana menjelang & pasca turunnya Soeharto dari kursi kepresidenan. Ketika kemarin malam polisi Hong Kong sudah mulai mengambil tindakan untuk menghalau para demonstran dengan tear gas & pepper spray maka muncul kekhawatiran saya bahwa demo ini akan semakin anarkis. Apalagi tanggal 1 Oktober 2014 nanti akan ada gelombang demonstrasi Occupy Central yg tentunya akan melibatkan massa yg lebih banyak lagi.

Sebagai perantau yg belum mengerti bahasa Cantonese maka informasi hanya bisa saya dapatkan dari berita online berbahasa Inggris serta dari teman-2 saya saja. Keterbatasan ini membuat saya seolah-olah berada pada posisi rentan, apalagi hari ini sebagai lanjutan demonstrasi kemarin maka beberapa ruas jalan di daerah Hong Kong & Kowloon masih ditutup oleh demonstran.  Meski secara logika saya sadar bahwa demonstrasi ini berbeda dengan demonstrasi yg terjadi tahun 1998 lalu karena masyarakat Hong Kong terbiasa untuk tertib menjalankan aturan namun saya  merasa tetap perlu untuk melakukan semacam assessment/survey atas beberapa hal mengingat lokasi demonstrasi di Kowloon berada tidak jauh dari tempat saya tinggal. Untuk itulah saya melakukan tinjauan ke lokasi dalam radius 200-300 meter untuk melihat bagaimana respon masyarakat, aktifitas keseharian dll untuk saya jadikan sebagai dasar pertimbangan saya.

10 foto berikut ini adalah foto-2 yg saya abadikan di sekitar lokasi demonstrasi. Foto diabadikan dengan menggunakan Iphone 4S saja & retouch untuk persiapan upload menggunakan Photoscape.

******

Dari atas jembatan penyebrangan, saya lihat sebuah bus melintang di perempatan jalan utama yg membentang di wilayah Kowloon.

demo-cnd2014-1

Saya coba untuk turun ke jalan, melihat bagaimana respon masyarakat, apakah ada terlihat rasa khawatir atau takut (seperti saat demonstrasi besar-2 an melanda Jakarta) atau mereka tetap santai. Ternyata masyarakat menghadapinya dengan santai saja bahkan malah mendekati lokasi demontrasi untuk melihat apa yg terjadi & tentunya membuat beberapa foto liputan yg mungkin akan mereka share ke keluarga atau teman-2.

demo-cnd2014-2

Beginilah sisi lain dari bis yg melintang di tengah jalan tadi. Di sisi ini bis ditempeli berbagai poster ukuran kira-2 sebesar kertas A4 (mungkin hasil fotocopy-an) yg saya tidak mengerti apa artinya. Saya juga tidak sempat meluangkan waktu untuk bertanya karena ternyata batere Iphone saya pun sudah hampir kritis karena itu say aputuskan segera bergerak ke sisi lain & mengambil beberapa gambar. Sisi lain dari bis ini dijadikan semacam panggung untuk para demonstran berorasi menyampaikan pendapatnya.

demo-cnd2014-3

Ini adalah foto sisi jalan yg ada di depan bis tersebut di atas. Di kejauhan ada beberapa mobil polisi & beberapa anggota polisi berjaga-2. Polisi yg saya lihat mayoritas memakai topi biru seperti topi satpam & itu adalah polisi biasa bukan sekelas PTU (semacam Korps Brimob) apalagi SDU (semacam Densus 88). Terlihat barikade yg dibuat oleh demonstran untuk menutup jalan.

demo-cnd2014-4

Saya coba naik ke besi pembatas jalan untuk mendapatkan cakupan foto yg lebih luas namun sudutnya menurut saya masih kurang bagus & tetap tidak bisa mendapatkan gambar yg sedikit lebih baik. Akhirnya saya turun ke jalan lagi bergabung dengan masyarakat & para demonstran. Masyarakat menyimak orasi yg disampaikan oleh perwakilan demonstran saat itu dengan latar belakang sisi lain dari bis yg melintang di jalan.

demo-cnd2014-5

Saya berada cukup lama di lokasi ini untuk melihat respon masyarakat yg sengaja datang menyaksikan aksi para demonstran, menyimak orasi yg disampaikan, foto-2 atau hanya sekedar melintas. Lagi-2 tidak ada perasaan khawatir sedikitpun muncul dalam hati saya & saya lihat masyarakatpun menghadapinya dengan santai saja.

demo-cnd2014-6

Saya pun bergerak lagi ke lokasi lainnya. Sepanjang jalan saya melihat orang-2 menjadikan jalan seperti area rekreasi. Beberapa orang dengan pakaian rapi seperti baru pulang kerja saya lihat duduk di trotoar sambil minum minuman kaleng & mengobrol dengan santai. Di ujung jalan lainnya saya lihat kelompok demonstran yg sepoertinya juga sedang berorasi namun saya urungkan jalan ke arah itu karena posisi sudah cukup jauh dari tempat saya tinggal. Saya putuskan untuk kembali sambil melihat-2. Ternyata di dekat bis ada kelompok demonstran yg menggelar tikar/karpet (atau sejenisnya) untuk duduk-2 santai sambil bernyanyi atau memainkan alat musik yg mereka bawa. Di titik ini saya melihat ada beberapa orang yg membawa gendang/tambur untuk barongsai serta jimbe (gendang yg bisa dijepit di antara kedua kaki saat kita mainkan). Sepertinya itu menjadi alat musik yg mereka sepakati untuk dibawa saat demo.

demo-cnd2014-7

Saya lanjutkan perjalanan menyusuri jalan utama tersebut. Saya memilih berbaur dengan masyarakat & berjalan di tengah jalan yg telah ditutup. Beberapa orang saya temui berjalan ke arah para demonstran tapi mungkin juga mereka sekalian jalan pulang ke arah tempat tinggal masing-2 mengingat tidak ada bus yg melintasi jalan itu sehingga mereka memilih untuk jalan kaki saja. Foto-2 di lokasi demostrasi & ditengah jalan sepertinya menjadi kegiatan yg tidak disia-2 kan oleh masyarakat.

demo-cnd2014-8

Aaah… ternyata batere Iphone saya sudah tinggal beberapa persen saja. Saya putuskan untuk mengambil beberapa foto lagi secara random sekaligus memanfaatkan kesempatan langka hunting di tengah jalan.

demo-cnd2014-9

Di detik-2 terakhir, baru saya sadari bahwa beberapa toko dekat lokasi demonstrasi ternyata masih buka & saat saya berada disana mereka sedang bersiap-2 untuk menutup toko. Mereka menutup toko lebih awal karena tidak ada kendaraan yg melintas daerah tersebut. Toko yg tetap buka ini bisa menjadi pertanda bahwa mereka tidak khawatir dengan demonstrasi yg sedang berlangsung. Ini adalah toko yg pada saat saya melintas sudah dalam keadaan tutup.

demo-cnd2014-10

Selesai mengambil foto di atas betere saya benar-2 drop & sudah tidak ada tenaganya lagi. Saya pun kembali mengayunkan langkah menyusuri jalan menuju ke tempat tinggal saya. Dari pantauan saya ke lokasi demonstrasi serta lokasi-2 lain dalam radius 200-300 meter, saya lihat aktifitas masyarakat berjalan normal. Restaurant atau kantin-2 khas Hong Kong masih tetap ramai dikunjungi oleh orang-2 yg mau makan malam. Pedagang kaki lima tetap menjajakan dagangannya di lokasi yg ditentukan & masyarakat berbelanja dengan santai seperti biasanya. Supermarket juga tidak mengalami lonjakan pembeli karena makanan seperti roti, mie instan, makanan kalengan, susu dll terlihat stoknya cukup dengan tanda etalase tidak kosong seperti saat typhon skala 10 akan menerjang Hong Kong.

Itulah pandangan mata yg bisa saya bagi ke kawan-2. Harapan saya semoga demonstrasi ini berlangsung dengan tertib & damai tanpa jatuhnya korban, baik di pihak demonstran maupun aparat keamanan.

Satu Langkah Ke Depan, Satu Lompatan Untuk (Menuju) Peradaban

Tags

, ,

Bagian kedua dari 2 tulisan.

Urumqi adalah ibukota dari propinsi Xinjiang, sebuah propinsi yang kira-kira berada di bagian barat Republik Rakyat China (selanjutnya saya sebut China). Meski berada jauh di bagian barat ternyata kondisinya jauh berbeda bila kita bandingkan dengan beberapa propinsi di negeri kita. Wilayah yang secara geografis ini jauh dari ibukota ternyata tampil tidak kalah dengan kota besar lainnya, misalnya Shenzhen. Jalan-jalan begitu besar bahkan masih terus berlanjut untuk diperluas lagi jaringannya. Gedung-gedung tinggi juga berjejer di pusat bisnisnya. Terkesan bahwa meskipun jauh dari ibukota tapi pemerintah China tetap memberikan perhatian pada propinsi ini.

Dulunya propinsi Xinjiang mayoritas penduduknya adalah suku bangsa Uyghur yang memiliki penampilan yang jauh berbeda dengan suku lainnya. Menurut saya mereka lebih mirip dengan orang Eropa Timur seperti orang Kazakstan/Uzbekistan bahkan mirip orang Turki dibanding dengan rata-rata suku China lainnya. Dan suku bangsa Uyghur ini rata-rata memeluk agama Islam. Kita masih bisa melihat pengaruh kebudayaan Islam yang mungkin masuk ke Uyghur pada saat Jalan Sutra mencapai periode keemasannya & sampai saat ini kebudayaan tersebut masih tumbuh disana. Mungkin karena itu pula maka selain tulisan China yang dipakai secara resmi maka dipakai pula tulisan dengan alphabet Arab. Di beberapa tempat kita juga bisa temukan tulisan dengan alphabet Cyrillic (seperti alphabet yang dipakai Rusia) karena selain pengaruh kebudayaan Arab tidak tertutup kemungkinan jika budaya dari negeri tetangga seperti Kazakstan, Uzbekistan, Kyrgystan & Tajikistan juga memberi pengaruh yang sama besar di Xinjiang.

Saat ini suku bangsa Uyghur sudah tidak menjadi mayoritas lagi di Xinjiang. Salah seorang kawan menjelaskan pada saya bahwa suku bangsa Uyghur sudah hampir sama besar jumlahnya dengan suku bangsa Han yang datang merantau & menjadi pengusaha di Xinjiang beberapa tahun lalu. Perubahan yang pesat ini mungkin saja menimbulkan kecemburuan & gesekan sosial di masyarakat. Mungkin itu pula yang menimbulkan perasaan aneh pada saya saat saya sempatkan diri untuk survey lokasi, melihat-lihat sekeliling sebelum street hunting saya lakukan.

Saat itu saya telah berada di jalan sekitar 15-30 menit untuk melihat-lihat. Biasanya saya secara psikologis dalam waktu selama itu sudah bisa berbaur dengan lingkungan. Namun hal itu tidak terjadi saat itu karena ada perasaan tidak nyaman, ada perasaan tidak aman. Ada tatapan dari orang-orang yang melihat saya saat itu yang menurut saya sedikit dingin… tidak mengancam tapi juga tidak ramah seolah ingin menyelidiki mau apa saya saat itu. Sampai saat saya bertemu seorang teman esok harinya barulah saya tahu penyebab tatapan dingin itu. Pada tahun 2009 telah terjadi gesekan sosial antara suku bangsa Uyghur dengan suku bangsa Han. Mungkin dimata mereka saya ini lebih mirip suku bangsa Han makanya tatapan menyelidik lah yang saya dapatkan. Tatapan curiga ini juga saya dapat saat mengunjungi salah satu masjid tua di wilayah muslim Uyghur. Sampai saatnya saya & beberapa orang mengucapkan salam (Assalamu’alaikum Wr. Wb.) barulah pandangan curiga itu sedikit mencair.

Terlepas dari persoalan/gesekan sosial yang terjadi disana, Xinjiang tetaplah eksotis untuk dijelajahi. Saat senggang saya sempatkan untuk melakukan street hunting meski berbekal iPhone 4S saja. Budaya China & Islam hidup berdampingan disana. Kita akan bertemu klenteng di salah satu sudut kota & di sudut lainnya kita akan melihat masjid yang arsitekturnya mirip dengan bangunan masjid lama di Timur Tengah. Sayang saya tidak bisa mengabadikan bangunan cantik tersebut karena tiap kali melihat justru saya sedang berada di dalam kendaraan yang berjalan cepat. Masjid yang sempat saya abadikan adalah masjid tua yang bangunannya mirip klenteng serta masjid kecil yang berada di perkampungan dekat tempat saya menginap, meski hanya bisa mengabadikan bagian depannya saja.

Berikut ini saya sajikan beberapa foto yang sempat saya abadikan di sela-sela kesibukan saya di Xinjiang. Selamat menikmati & salam njepret…!

Satu Langkah Ke Depan, Satu Lompatan Untuk (Menuju) Peradaban

Tags

, ,

Bagian pertama dari 2 tulisan.

Kalimat yang menjadi judul di atas adalah terjemahan bebas saya dari kalimat “A Small Step Forward, A Big Stride For Civilization” sebuah kalimat yang menyambut saya saat tiba di Urumqi, ibukota propinsi Xinjiang (Uyghur), sebuah propinsi paling barat di Republik Rakyat China (selanjutnya saya sebut China). Kalimat tersebut berada di dalam toilet pria dan ditempel tepat di atas urinoir. Sebuah kesan yang begitu mendalam karena selama saya mengunjungi China yang namanya toilet hampir selalu berada dalam kondisi yang ‘menghkhawatirkan’ bila kita bandingkan dengan kondisi toilet di Hong Kong. Kalimat di atas memberi kesan pertama pada saya bahwa pemerintah China, khususnya propinsi Xianjiang, telah memberikan perhatian khusus terhadap kondisi ini sehingga berkeinginan untuk membuat fasilitas toilet menjadi lebih baik dengan memberikan himbauan tersebut untuk merubah perilaku warganya. Meski bukan hal terbaik untuk memulai sebuah cerita namun karena kesan yang ditimbulkan maka kalimat itulah yang saya pilih sebagai judul dari tulisan saya kali ini.

Perjalanan ke Xinjiang dimulai dari telpon atasan saya yang memberikan instruksi bahwa saya harus menyiapkan diri untuk berangkat ke Xinjiang dalam rangka membantu tim dari kantor saya di Beijing sehubungan dengan event yang dilaksanakan di ibukota propinsi Xinjiang tersebut. Dengan berbekal sangat sedikit kemampuan berbahasa mandarin dan keahlian berbahasa tarzan maka berangkatlah saya menuju Urumqi dengan rencana keberangkatan Hong Kong – Beijing – Urumqi.

Cathay Pacific (CX) membawa saya untuk memulai perjalanan pertama saya menuju Beijing untuk selanjutnya ganti pesawat menuju Urumqi dengan China Southern (CZ). Penerbangan pertama dapat saya lewati dengan nyaman karena Boeing 787 yang digunakan CX terasa begitu bersih dan nyaman dengan inflight entertaintment-nya yang beragam serta kwalitas LCD touch screen-nya yang sangat baik. Yang mungkin bisa dibilang sedikit kurang adalah proses landing yang menurut saya masih agak kasar. Saya tidak tahu apakah ini disebabkan oleh kondisi setempat atau karena faktor manusia yang mengoperasikan pesawatnya.

Kondisi yang sangat berbeda saya rasakan saat melanjutkan penerbangan menuju Urumqi. Pesawat Boeing 757 yang digunakan CZ saat itu sepertinya kurang mendapat perhatian. Kain kursi yang bisa dibilang oleh orang betawi dengan sebutan “de kill en de kummel” (alias kotor dan pudar) membuat kursi pesawat tersebut sedikit mirip dengan kondisi bus Damri di Jakarta yang melayani penumpang dari/menuju Bandara Soekarno – Hatta. Selain itu saat memasuki pesawat saya sudah disambut dengan harum alami keringat manusia yang sepertinya telah memenuhi kabin pesawat dari bagian depan hingga hampir ke belakang. Pelayanan di kabin pesawat tidak ada yang istimewa sehingga tidak ada yang bisa saya ceritakan selain menu makanan yang harumnya mirip dengan makanan atau bakmi dengan isi jeroan binatang berkaki pendek dan berhidung pesek yang sering saya temui di Hong Kong. Cabin crew yang tidak bisa berbahasa Inggris menambah ‘ke-istimewa-an’ perjalanan saya dengan CZ hari itu. Untung saja saat penerbangan kembali dari Urumqi (dengan Air China menuju Beijing dan Dragon Air menuju Hong Kong) perjalanan cukup menyenangkan. Pesawat yang sangat terawat, cabin crew yang fasih berbahasa Inggris serta makanan yang cukup lezat (khususnya untuk Dragon Air) bisa mengobati rasa kecewa yang saya rasakan saat keberangkatan.

Waktu di jam tangan saya kalau tidak salah menunjukkan pukul 22.00 saat tiba di Urumqi namun langit terlihat masih sedikit terang karena matahari baru mulai surut di barat. Bila mengacu pada kondisi geografis maka Urumqi mestinya 2-3 jam lebih lambat dari pada waktu Beijing/Hong Kong, namun pemerintah China telah menetapkan 1 daerah waktu untuk seluruh wilayah China sehingga meski jam telah menunjukkan pukul 10 malam kondisi langit masih cukup terang. Saya sempat mengabadikan beberapa foto saat kedatangan tersebut namun karena jendela airport cukup kotor maka hal itu tidak bisa memaksimalkan foto yang saya abadikan melalui Iphone (saya sengaja tidak membawa DSLR agar pergerakan saya tidak terhambat oleh kamera dan tas yang saya bawa). Akhirnya foto-foto tersebut urung saya sajikan dalam deretan foto pada tulisan saya ini.

Bagaimana dengan kondisi kota Urumqi itu sendiri dan kesan apa yang saya dapatkan saat ada kesempatan meninjau kota tersebut?

Tunggu saja lanjutannya pada bagian kedua dari tulisan ini.

Berikut ini saya sajikan dulu foto-foto yang saya abadikan di Airport Beijing dan Urumqi. Selamat menikmati.

Berdamai Dengan Keterbatasan

Tags

, ,

Beberapa bulan tinggal di Hong Kong ternyata masih belum menyempatkan saya untuk dengan santai menenteng kamera dan melakukan street hunting seperti yang biasa saya lakukan saat saya liburan di Hong Kong. Ransel berat berisi laptop serta tas kecil berisi bekal makan siang menyurutkan niat saya untuk menambah satu bawaan lagi berupa kamera DSLR. Namun, hasrat untuk melakukan street hunting sukar untuk dibendung. Akhirnya, ipod saya pilih sebagai media untuk menyalurkan hasrat street hunting tersebut.

Perubahan media dari kamera DSLR menjadi ipod tak urung membuat saya harus menyesuaikan diri lagi karena untuk saya sangat tidak mudah memotret dengan menggunakan ipod yang kecil & tipis sementara tangan ini biasa memegang kamera DSLR yang lumayan gemuk. Hal itu belum termasuk bagaimana sulitnya mengenai pengoperasian ipod agar saya bisa membuat foto yang nggak terlalu banyak salahnya. Trial & error saya jalani & makin hari saya makin mengenali gadget kecil ini.

Selang beberapa lama ternyata saya bisa merasakan asiknya street hunting dengan gadget mungil ini. Meski banyak keterbatasan yang dimiliki (karena nggak mungkin kita menyamakan ipod dengan kamera DSLR) namun bentuk mungil yang dimiliki ternyata menjadi nilai tambah tersendiri buat saya karena saya bisa motret kapan saja tanpa membuat orang-2 terganggu akan kehadiran saya. Kondisi akan berbeda jika dibandingkan dengan kamera DSLR, orang akan merasakan kehadiran kita karena kamera yang kita gunakan bisa menarik perhatian, belum lagi jika penampilan kita justru makin membuat kita berbeda dengan lingkungan (membawa ransel besar berisi alat-2 fotografi lengkap dengan tripod menempel di sisi ransel). Hal lain yang juga menjadi keuntungan dari gadget mungil ini adalah ukurannya yang cukup pas untuk masuk di saku baju.

Sejak saat itu saya terus mencari tau apa yang bisa dilakukan oleh gadget mungil ini ketimbang mencari apa saja keterbatasannya. Pencarian itu akhirnya menemukan saya dengan instagram. Saya gunakan applikasi instagram ini untuk menemani saya dalam menyalurkan hasrat street hunting. Berikut ini adalah koleksi foto produksi saya bersama gadget mungil bernama ipod. Selamat menikmati.

Hong Kong International Airport (HKIA)

Tags

Pergi ke HKG dan melakukan street hunting disana rasanya nggak lengkap kalo kita melewatkan kesempatan untuk hunting di area bandara HKIA. Bandara seluas 570.000 meter persegi untuk Terminal 1 dan 140.000 meter persegi untuk Terminal 2 merupakan tempat yang menarik untuk di jelajahi. Bandara yang juga disebut sebagai Chek Lap Kok Airport ini mulai beroperasi pada tahun 1998 dan merupakan bandara pengganti dari bandara sebelumnya (Kai Tak Airport) yang berada terlalu dekat dengan pembangunan kota dan sudah tidak dapat menampung kegiatan penerbangan penumpang dan cargo yang makin pesat.

Berdasarkan data yang saya peroleh dari situs resminya, bandara ini telah menghabiskan dana sebesar HK$ 50 milyar untuk pendiriannya dan kurang lebih menghabiskan dana sebesar HK$ 2 milyar setiap tahunnya untuk pengembangan fasilitas bandaranya. Kebayang dalam benak saya kalo uang sebesar itu digunakan untuk membangun SD dan SMP di negeri kita maka kita akan punya ratusan SD dan SMP yang kuat bangunannya dan tahan puluhan tahun tanpa harus ambruk dimakan usia sehingga program wajib belajar bisa dipastikan akan berjalan sukses dan berkesinambungan. Aaah… kenapa saya jadi ngawur begini… haa 3x!

Terlepas dari data statistik bandara HKIA yang menghabiskan dana besar itu, menurut saya bandara ini memang pantas buat dijadikan sasaran hunting. Mengapa…? Selain design yang modern dan bagus, langit-2 yang tinggi dengan banyak dinding kaca membuat bandara ini terasa begitu luas dan terang karena banyaknya cahaya yang masuk ke dalam ruangan. Bila dibandingkan dengan bandara Suvarnabhumi di Bangkok, maka saya suka bandara HKIA ini karena bandara Suvarnabhumi terasa agak sempit dan cahaya yang masuk pun lebih sedikit bila dibandingkan dengan HKIA. Kondisi bandara HKIA yang seperti ini menurut saya ideal untuk hunting. Lighting yang mendukung, area yang luas dan nggak sumpek membuat kita memiliki banyak hal untuk kita eksplor. Satu hal yang juga penting adalah saat kita hunting (tentunya di public area) tidak ada satupun petugas yang menegur kita dan bertanya ada izin atau nggak. Berbeda banget bila kita motret di public area Soekarno-Hatta International Airport. Terkesan sinis memang soal izin motret ini… tapi itulah kenyataannya.

Selama di HKG saya belum menjadwalkan hunting secara khusus di bandara HKIA karena jarak yang lumayan jauh dari pusat kota. Saya bisa saja pergi ke bandara HKIA dengan menggunakan airport express tapi konsekwensinya saya harus merogoh kocek lebih dalam lagi bila mau menggunakan fasilitas ini. Kalo nggak salah untuk airport express bila kita berangkat dari daerah Central kita harus merogoh kocek sebesar HK$ 100. Sebuah jumlah yang nggak sedikit menurut saya. Karena itulah hunting di bandara HKIA saya lakukan secara sambilan… artinya ketika saya kebetulan ada di bandara HKIA maka bila waktunya senggang akan saya sempatkan untuk hunting sejenak.

10 foto terlampir adalah foto yang saya hasilkan saat hunting sejenak di bandara HKIA, khususnya Terminal 1. Bila nanti ada kesempatan maka akan saya jelahi Terminal 1 lagi sekaligus dengan Terminal 2 nya. Selamat menikmati sajian foto ini…